SEJARAH FOTGRAFI JALANAN
Saat ini memegang kamera besar (dslr) sudah disebut fotografer oleh orang awam, padahal belum tentu orang yang memegang kamera tersebut bisa memaksimalkan alat tersebut (kamera). Dan juga dari berbagai kalangan juga bisa dengan mudah membeli sebuah kamera dikarenakan sudah terjangkaunya harga sebuah kamera, tidak bisa dipungkiri lagi mulai dari remaja, muda, orang tua, laki laki, perempuan, pemula, hobbies, pelajar, profesional dapat memiliki kamera.
Bermodalkan kamera, siapa saja bisa mengambil gambar dan mengabadikan momen-momen penting yang tidak bisa di ulang kembali. Siapa saja yang bisa menggunakan kamera dapat menghasilkan gambar yang bagus, akan tetapi foto yang bagus tidak sama dengan foto yang baik. “Foto bagus hanyalah sekedar fokus, terang, tajam, yang berarti sangat teknis. Sementara itu, foto yang baik tidak semata-mata teknis, melainkan juga mengandung pesan yang bisa dirasakan dan dinilai”.[1] Foto yang baik mengandung simbol-simbol yang bermakna, yang membuat penikmatnya menangkap dan mengartikan pesan-pesan pada gambar tersebut, sesuai penafsirannya.
“Esensi fotografi tidak terletak pada alat apa yang di gunakan untuk melakukan kegiatan pendokumentasian, melainkan inovasi apa yang bisa dilakukan untuk menghasilkan karya terbaik”.[2] Sayang, pandangan semacam ini belum tentu bisa diterima oleh semua pihak. Namun, begitulah hakikatnya. Apalagi bila dilihat dalam kerangka dan proses perjalanan panjang sejarah fotografi dan peradaban manusia. Sesungguhnya, lagi-lagi kreatifitas pula yang membuat manusia bisa memotret sambil menjinjing tas kamera, tidak perlu sambil membawa gerobak penuh dengan alat-alat fotografi seperti zaman dulu pernah terjadi.
Street photography sangat populer di negara-negara besar seperti Inggris, Jerman, Brasil, Cina, Singapura dan juga Indonesia. Karena tingginya arus kesibukan manusia dan kepadatan ruang-ruang publik menjadi perhatian tersendiri bagi fotografer street. Sebab kebanyakan fotografer yang bermukim di kota besar hampir tidak memiliki waktu khusus untuk hunting foto, apalagi harus mengeluarkan biaya besar untuk melakukan perjalanan jauh tetap dalam rangka berburu foto. Dalam street photography, subjek bisa terdapat dimana-mana meski seringkali diluar rencana (spontanitas), sehingga subjek foto dan fotografer menjadi lebih dekat. Namun, bukan berarti dari kedekatan itu si fotografer hanya sekadar memotret situasi di sekelilingnya. Sebab, pada dasarnya genre apapun yang dijadikan lokomotif berkarya fotografi tetap mengacu pada konsep dan terapan kaidah-kaidah fotografi konvensional. Tentunya juga tidak lepas dari kreativitas.
Fotografi jalanan bukanlah reportase meskipun secara secara visi memiliki tujuan yang sama yakni sebagai cerminan masyarakat. Fotografi ini tidak menampilkan serangkaian gambar, foto bersama, atau sisi yang berbeda dari subjek atau isu. Tak ada materi yang spesifik tentang itu. Fotografi jalanan berkaitan erat dengan cara melihat dan bereaksi, dari objek yang sering kali diabaikan oleh orang kebanyakan. Karya yang dihasilkan sebagian menjadi sebuah ironi dan dapat menjauhkan dari materi subjek.
Selain ruang-ruang publik yang menjadi domain penting dalam street photography, yang tidak kalah penting lainnya adalah aneka ragam simbol atau tanda, bentuk grafik dan tekstur. Fotografi genre ini tidak menjustifikasi bahwa manusia selamanya yang menjadi subjek utama ini dikarenakan subjek yang terdapat di lingkungan sekitar kita sangat bervariasi, tergantung pengamatan dan pikiran cermat yang secara spontanitas untuk menangkap sesuatu yang tampak di jendela bidik kamera. Dengan memperhatikan arah datangnya cahaya dan kreativitas mengolah bentuk, tekstur dan simbol tersebut ke dalam satu framing maka akan dapat menghasilkan foto street yang baik.
Lebih mendalam lagi secara karakteristik street photography merupakan satu bentuk upaya penggambaran situasi sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sekaligus membangun kesadaran publik bahwa masih ada kehidupan ‘lain’ di luar sana yang membutuhkan perhatian. W. Eugene Smith misalnya, yang menarik perhatian dunia lewat karya esai fotonya mengenai penyakit Minamata yang diderita penduduk sekitar sebagai dampak buruk yang diakibatkan limbah pabrik logam Chisso di Jepang. Fotografer Manuel Rivera Ortiz yang mengkampanyekan kepada dunia tentang kemiskinan. Demikian juga dilakukan oleh Henri Cartier Bresson, Eugene Atget dan Don McCullin yang mendokumentasikan kondisi masyarakat yang berada dalam keterpurukan sosial akibat konflik perang, perselisihan perkotaan, dan sebagainya.
Fotografi jalanan ini biasanya menyorot tentang tema-tema masyarakat urban dan kental dengan alam sosial. Ia bahkan melihat sebingkai fotografi jalanan mengajak orang untuk berpikir tentang makna yang ada di dalam foto tersebut”.[3]
Memang kenyataannya bahwa kehidupan perkotaan dan segala persoalannya tidak akan pernah “selesai” untuk direkam, kapanpun dan dimanapun. Perhatikanlah disekeliling anda, barangkali ada sesuatu yang menarik.
0 komentar:
Posting Komentar